Panah pada masa Prasejarah Baca Selengkapnya >>
Panahan pada masa kolonial belanda Selengkapnya >>


Sri Paku Alam VIII lahir di lingkungan puro Pakualaman, dan naik tahta menggantikan ayahnya Paku Alam VII, ia memiliki peranan sebagai tokoh olahraga panahan. Ketertarikan Sri Paku Alam VIII pada panahan bermula dari hobinya bermain panahan tradisional Jemparingan gaya Mataraman bersama kerabat dan abdi dalem. Dalam olahraga tersebut Sri Paku Alam VIII dijuluki Bramastro, nama tersebut diberikan oleh ibunya Gusti Kanjeng Retno Puwoso/ Gusti Hadipati yang diambil dari nama busurnya. Dorongan olahraga panahan juga tidak terlepas dari peran kakeknya Paku Buwono X.
Jemparingan pernah masuk dalam PON pada cabang panahan  pada tahun 1948 yang pertama kali diselenggarakan di Surakarta dan diperlombakan sebatas ekshebisi.

Pasca merdeka, Indonesia mulai berpartisipasi dan mengambil peranannya dalam pergaulan dunia melalui olahraga. Olahraga sebagai character building menjadi hal yang digalakan pemerintah untuk membangun karakter bangsa. Sri Paku Alam VIII yang merupakan Wakil Kepala Daerah Yogyakarta mendampingi Hamengku Buwono IX. 

Sebagai seorang yang tinggal di lingkungan Kadipaten Pakualaman, budaya-budaya jawa banyak yang merasuk dalam dirinya. Melalui olahraga panahan tradisonal menuntun Sri Paku Alam VIII mendirikan perku perkumpulan panahan di Puro Pakualaman dengan nama Mardisoro pada Tahun 1953. Mardisoro diambil ari bahasa jawa yang berasal dari kata Mardi dan Soro, Mardi yang berarti mendidik dan Soro artinya panah.


K.G.P.A.A. Paku Alam VIII
Tidak lama berselang pada tahun 1953 setelah pendirian perkumpulan Mardisoro Paku Alam VIII juga mendirikan Persatuan Panahan Seluruh Indonesia (Perpani). Upaya Paku Alam VIII untuk mengembangkan Perpani yaitu memperjuangkan olahraga panahan sebagai pertandingan resmi yang diperlombakan dalam PON, mengembangkan olahraga panahan di kalangan masyarakat dan mendaftarkan Perpani sebagai anggota persatuan panahan Internasional FITA pada tahun 1959.